Minggu, 16 September 2012

Pendudukan Jepang di Indonesia

PENDUDUKAN JEPANG DAN UPAYA MEMPERSIAPKAN KEMERDEKAAN INDONESIA

  1. zaman Pendudukan Jepang
Pendudukan Jepang di Indonesia dipimpin oleh Letjen Hitoshi Imamura diawali di kota Tarakan, Kalimantan Timur, tanggal 10 Januari 1942. Selanjutnya Minahasa, Balik Papan, Ambon, Pontianak, Makassar, Banjarmasin, Palembang dan Bali yang berhasil diduduki Jepang selama Januari – Pebruari 1942.. Kota Jakarta berhasil diduduki tanggal 5 Maret 1942. Tentara Belanda yang dipimpin Letjen H. Ter Poorten merasa kewalahan menghadapi serbuan kilat tentara Jepang kemudian mundur menuju Subang, Jawa Barat. Didaerah ini pula (Kalijati) tentara Belanda menyerah tanpa syarat kepada tentara Jepang tanggal 8 Maret 1942. Sejak saat itu, mulailah masa pemerintahan pendudukan Jepang di Indonesia.
Pada masa pendudukan Jepang, Indonesia dbagi menjadi 3 wilayah yang dipimpin oleh pemerintahan mliter, yaitu :
  1. Jawa dan Madura diperintah oleh tentara keenambelas Angkatan Darat (Rikugun) yang berpusat di Jakarta
  2. Sumatra diperintah oleh tentara kedua puluh lima Angkatan Darat (Rikugun) yang berpusat di bukittinggi
  3. Indonesia bagian timur diperintah Armada Selatan kedua angkatan laut (Kaigun), yang berpusat diujung Pandang
Setelah menduduki Indonesia, Jepang mengeluarkan peraturan yang melarang semua rapat dan kegiatan yang bersifat politik. Tanggal 20 Maret 1942, pemerintah Jepang mengeluarkan aturan yang isinya membubarkan perkumpulan, namun tanggal 15 Juli 1942, perkumpulan yang bersifat social, budaya, olahraga atau kesenian diperbolehkan berdiri. Kegiatan yang bersifat politik tetap dilarang.
Untuk menarik simpati dan dukungan rakyat Indonesia, Jepang mempropagandakan Gerakan 3 A, yaitu Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia dan Nippon Pimimpin Asia. Gerakan ini dipimpin oleh Mr. Syamsudin. . Akan tetapi gerakan ini kurang mendapat sambutan dari rakyat, karena rakyat tidak mau diperalat oleh Jepang.
Mewaspadai politik Jepang, para pemimpin gerakan nasional mengambil dua pendekatan taktik yang berbeda, yaitu :
  1. Jalan Legal (Kooperatif), yaitu bersedia bekerjasama dengan Jepang. Gerakan ini dipimpin oleh Soekarno dan Moh. Hatta
  2. Jalan illegal (non kooperatif), gerakan bawah tanah atau gerakan tersembunyi karena tidak mau bekerjasama dengan Jepang. Gerakan ini dipimpin oleh Amir Syarifudin dan Sutan Syahrir.
Pada masa penjajahan Jepang, kekayaan Indonesia dikras habis sehingga rakyat kelaparan. Para pemuda dipersiapkan untuk mempertahankan Indonesia dalam Perang Asia Timur Raya. Demi pendudukan Jepang. Rakyat Indonesia dijadikan Romusha untuk mengerjakan proyek Jepang, seperti jalan, pelabuhan dan lapangan terbang. Selain itu ada polisi militer (Kempetai) yang bertindak sangat kejam untuk menyiksa atau membunuh rakyat yang dianggap membantah perintah Jepang.
Para pemimpin pergerakan menyadari bahwa melawan dengan kekuatan senjata tidak mungkin, sebab dari segi militer, Jepang lebih kuat.Untuk melawan Jepang, terlebih dahulu harus memanfaatkan berbagai organisasi yang dibentuk Jepang sendiri.
  1. Organisasi pergerakan Nasional pada masa pendudukan Jepang
1. Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI)
Dibentuk masa penjajahan Belanda bulan september 1937. Pembentukan MIAI diprakarsai oleh K.H. Mas Mansyur (Muhammadiyah), K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Wahab Chasbullah (NU) dan Wondoamiseno (PSII). Tujuan organisasi ini adalah membicarakan dan memutuskan semua soal yang dipandang penting bagi kemaslahatan umat dan agama islam. Pada masa penjajahan Jepang, organisasi ini tidak dibubarkan, kerana kegiatannya bersifat keagamaan dan tidak mengadakan kegiatan politik, dan strategi pergerakan yang diterapkan MIAI bersifat kooperatif.
Pada awalnya kegiatan MIAI hanya dibidang agama saja, tetapi pada akhirnya MIAI melibatkan diri dalam kegiatan politik. Hal ini tampak dari dukungan MIAI terhadap GAPI yang menginginkan Indonesia berparlemen dan MIAI juga menghendaki agar yang menjadi kepala negara adalah orang Indonesia yang beragama islam dan dua pertiga dari menteri-menteri haruslah orang islam.
Karena perkembangannya yang pesat dan dinilai telah mengancam eksistensi pemerintah Jepang. Pada tahun 1943, MIAI dibubarkan dan sebagai gantinya dibentuk Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
2. Masyumi
Masyumi berdiri sebagai pengganti MIAI tahun 1943, yang diketuai oleh K.H. Mas Mansyur dan didampingi K.H. Hasyim Asyari. Organisasi ini segera dimanfaatkan oleh tokoh pergerakan Indonesia untuk mengkonsolidasikan organisasi-organisasi Islam seperti Muhammadiyah, NU, Persatuan Islam dan SI.
Seperti organisasi pergerakan Islam, Masyumi memiliki visi bahwa setiap umat islam diwajibkan untuk Jihad Fisabilillah (berjuang dijalan Allah) dalam berbagai bidang, termasuk bidang politik..
Kum muda muslim, khususnya para santri dipersiapkan untuk berjuang secara fisik maupun secara politis. Masyumi sampai masa pemerintahan Orde Lama merupakai partai politik yang tangguh dan memiliki basis massa yang banyak sebelum akhirnya dibubarkan oleh presiden Soekarno tahun 1960-an.
3. PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat)
Organisasi ini dibentuk pada bulan maret 1942, dibawah pimpinan empat serangkai yaitu Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara dan K.H. Mas Mansyur. Tujuan dibentuknya PUTERA oleh Jepang adalah untuk memusatkan seluruh kekuatan masyarakat dalam rangka membantu usaha Jepang dalam Perang Asia Timur Raya. Sedangkan tugas pemimpin PUTERA adalah memimpin rakyat agar kuat melaksanakan kewajiban dan bertanggung jawab untuk menghapus pengaruh barat, berusaha mempertahankan Asia Raya dan mempererat persaudaraan Indonesia-Jepang.
Empat Serangkai dianggap oleh Jepang sebagai lambang dari Pergerakan Nasional Indonesia. Sebaliknya pemimpin Indonesia memanfaatkan Putera untuk mempersiapkan Indonesia merdeka, sehingga dalam perkembangan selanjutnya Putera menjadi sebuah wadah pemupukan rasa nasionalisme dikalangan rakyat Indonesia.
4. Cuo Sangi In
Atau Badan Pertimbangan Pusat dibentuk pemerintah Jepang. Tadinys badan ini dimaksudkan Jepang sebagai pengendali politi di Indonesia. Tetapi, justru oleh para pemimpin pergerakan nasional dimanfaatkan untuk mengimbangi politik jepang.
Tugas Cuo Sangi In adalah mengajukan usul dan menjawab pertanyaan pemerintah Jepang. Badan ini kemudian dijadikan sarana strategis bagi para tokoh pergerakan Indonesia. Bangsa Indonesia diberi kesempatan menduduki jabatan kepala Departemen dan Residen yang sulit didapatkan pada masa pemerintahan Belanda
5. Jawa Hokokai
Tahun 1944, panglima tertinggi tentara Jepang di Jawa menyatakan berdirinya Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa). Organisasi ini lahir didorong oleh situasi Perang Asia timur Raya yang semakin gencar. Jawa Hokokai diorientasikan untuk memupuk semangat kebaktian, yaitu bersedia untuk mengorbankan diri, mempertebal persaudaraan dan melaksanakan tugas untuk kepentingan pemerintah pendudukan Jepang.
Pimpinan Jawa Hokokai ditangani langsung oleh pimpinan militer Jepang dan anggotanya diseleksi ketat. Jaringan organisasi dari pusat sampai daerah memiliki bidang kegiatan seperti guru, kewanitaan, perusahaan dan kesenian. Jawa Hokokai juga bertugas mengerahkan rakyat secara paksa untuk mengumpulkan adi, permata, besi tua serta menanam jarak. Hasilnya harus diserahkan kepemrintah Jepang untuk membiayai Perang Asia Timur Raya.
6. seinendan, Fujinkai dan Keibodan
Pada periode tahun 1944-1945 perang Asia Timur Raya semakin berkecamuk. Untuk mempertahankan darah pendudukannya Jepang membutuhkan dukungan dari rakyat yang dijajahnya.
Oleh karena itu Jepang membentuk organisasi semi militer Seinendan (barisan pemuda) tanggal 9 Maret 1943, yaitu barisan pemuda yang anggotanya berusia 14-22 tahun. Tujuan dibentuknya Seinendan adalah mendidik dan melatih para pemuda untuk dapat mempertahankan tanah airnya dengan kekuatan sendiri. Padahal, maksud sebenarnya adalah mempersiapkan pemuda Indonesia membantu Jepang menghadapi pasukan Sekutu.
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja wanita, pada bulan agustus 1943, Jepang membentuk Fujinkai (Himpunan Wanita) dengan usia anggota 15 tahun keatas. Anggota Fujinkai juga diberi latihan kemiliteran yang dipersiapkan untuk dapat membantu militer Jepang.
Untuk memenuhi keperluan tenaga pembantu kepolisian, dibentuklah Keibodan (Barisan Bantu Polisi). Usia anggota antara 20-25 tahun. Pemuda yang diterima menjadi anggota Keibodan adalah semua laki-laki yang berasal dari tiap desa dan dibentuk didesa-desa untuk mengisolasi dari pengaruh kaum nasionalis. Mereka diawasi oleh polisi dengan sangat ketat.
7. Barisan pelopor, Heiho dan Pembela Tanah Air (PETA)
Untuk menyiapkan rakyat Indonesia membantu pemerintah Jepang dalam Perang Asia Timur Raya, maka tanggal 14 September 1944 dibentuk Barisan pelopor, pemimpinnya ditunjuk dari golongan nasionalis seperti Ir. Soekarno, R.P. Suroso, Otto Iskandardinata dan dr. Buntaran.
Barisan Pelopor dilatih cara menggunakan senapan dari kayu, bambu runcing serta dikerahkan untuk mendengarkan pidato dari para pemimpin pergerakan nasional. Melalui Barisan Pelopor ini, para pemuda terpelajar memasukkan pengaruhnya kepada rakyat.
Pada bulan April 1943, Jepang mengumumkan dan membuka kesempatan bagi para pemuda Indonesia untuk ikut menjadi anggota pembantu prajurit Jepang (Heiho). Anggota Heiho langsung ditempatkan dalam struktur organisasi militer Jepang, baik angkatan darat maupun angkatan laut. Heiho dianggap sebagai bagian dari angkatan perang Jepang sehingga langsung diterjunkan dalam medan pertempuran menghadapi sekutu diberbagai front pertempuran. Para Heiho bukan hanya dikirim diwilayah Indonesia, melainkan juga dinegara lain seperti kepulauan Solomon, Filipina dan Indo Cina.
Selanjutnya tanggal 3 Oktober 12943, Panglima Tentara Jepang di Jawa mengumumkan pembentukan tentara sukarela Pembela Tanah Air (PETA). Maka dilatihlah puluhan calon perwira di Bogor. Setelah lulus, mereka kemudian diangkat menjadi daidanco (Komandan Batalyon), codanco (Komandan Kompi) dan syudanco (Komandan Batalyon) dan ada pula yang didik menjadi budanco (Komandan Regu)
8. Dokuritsu Junbi Cosakai
Kedudukan Jepang semakin terdesak oleh sekutu. Oleh karena itu untuk menarik simpati rakyat Indonesia, pemerintah Jepang menjanjikan akan memberikan kemerdekaan dikemudian hari sebagaimana yang diungkapkan oleh perdana menteri Koiso. Maka pada tanggal 1 Maret 1945 Letnan Jendral Kumakici Harada mengumumkan terbentuknya Dokuritsu Junbi Kosakai atau Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Badan ini beranggota 60 orang dan diketuai oleh Dr. Radjiman Wedyodiningrat.
Tugas BPUPKI adalah menyelidiki dan mempelajari hal-hal penting yang menyangkut maslah tata pemerintahan atau pembentukan negara Indonesia merdeka. Badan ini diperbolehkan untuk melakukan propaganda menyebarkan berita tentang persiapan kearah kemerdekaan Indonesia.
  1. Reaksi Rakyat Indonesia Terhadap Pemerintah Pendudukan Jepang
  1. Reaksi berupa perlawanan bersenjata
Keganasan tentara Jepang selama berada di Indonesia telah membangkitkan kemarahan rakyat. Beberapa tokoh masyarakat segera mengadakan perlawanan, sehingga timbullah pemberontakan terhadap Jepang diberbagai tempat :
  1. Pemberontakan Cot Plieng di Aceh
Dipimpin oleh seorang ulama muda bernama Tengku Abdul Jalil, guru ngaji di Cot Plieng. Peristiwa ini terjadi beberapa kali dan puncaknya terjadi tanggal 10 Nopember 1942. Perlawanan tersebut terjadi karena pasukan Jepang melakukan penghinaan terhadap umat islam Aceh dengan cara membakar masjid dan membunuh sebagian jamaah yang sedang shalat subuh. Rakyat Aceh yang merasa terhina akhirnya melakukan perlawanan terhadap Jepang.
  1. Pemberontakan Rakyat Sukamanah
Dipimpin oleh K.H. Zainal Mustofa. Pemberontakan ini berawal dari pemaksaan Jepang kepada santri di Sukamanah untuk melakukan Seikirei atau menghormat kepada Kaisar Jepang dengan cara membungkukkan setengah badan kearah matahari. Para petanii menolaknya sehingga timbulah bentrokan antara pasukan Jepang dengan petani Sukamanah. dalam peristiwa itu K.H. Zainal Mustafa dapat ditangkap kemudian diadili setelah Jepang mengirimkan pasukan tanggal 25 Pebruari 1944.
  1. Pemberontakan di Indramayu
Terjadi bulan Juli 1944, dipimpin H. Mdriyas. Penyebabnya karena rakyat tidak tahan terhadap kekejaman yang dilakukan oleh tentara Jepang.
  1. Pemberontakan Teuku Hamid di Aceh
Terjadi bulan November 1944 dipimpin seorang perwira Giyugun bernama Teuku Hamid. Pemberontakan ini tidak terjadi dengan lancar karena keluarga Teuku Hamid diancam akan dibunuh sehingga akhirnya Teuku Hamid terpaksa kembali.
  1. Pemberontakan PETA di Blitar
Dipimpin seorang komandan Peleton PETA bernama Supriyadi tanggal 14 Pebruari 1945. Pemberontakan ini terjadi karena anggota PETA tidak tahan melihat kesengsaraan rakyat didaerahnya dan banyak rakyat yang dijadikan Romusha dan meninggal selama dipekerjakan di daerah mereka.
Pemberontakan tersebut sangat merepotkan pemerintah Jepang, tetapi pemberontakan ini mengalami kegagalan karena persiapan tidak matang dan rakyatpun tidak mendukung terhadap pemberontakan tersebut.
Melalui tipu muslihat dengan menyerukan agar para pemberontak menyerah saja dan akan dijamin keselamatannya dan dipenuhi segala tuntutannya, maka para pemimpin pemberontakan bisa ditangkap dan diadili di Jakarta. Sebanyak 6 orang dijatuhi hukuman mati dan 35 orang dihukum 2 tahun sampai seumur hidup.
Adapun Supriyadi, tidak diketahui nasibnya. Namun sebagian orang yakin bahwa Supriyadi telah ditangkap dan diam-diam telah dibunuh oleh pemerintah Jepang.
  1. Reaksi Berupa Perlawanan Non-Senjata
Selain perlawanan senjata, ada pula rakyat yang menentang jepang dengan strategi non-kooperatif. Misalnya Sukarni dan Chaerul Saleh. mereka membuat organisasi tersendiri dengan nama Pemuda Menteng 31.
Pada waktu Jepang mendekati kekalahan total dan untuk meredakan mobilisasi rakyat Indonesia, Jendral Terauci selaku panglima tertinggi tentara Jepang di Asia Tenggara memanggil Ir Soekarno dan Moh. Hatta agar datang ke Dalat, Vietnam. Tujuannya untuk membicarakan kemerdekaan Indonesia. Pertemuan ini berlangsung tanggal 9 – 14 Agustus 1945. Terauci memberitahukan keputusan Jepang, bahwa Indonesia akan diberi kemerdekaan dengan luas wilayah mencakup seluruh bekas jajahan Belanda.
Beberapa pemuda mencurigai niat Jepang tersebut, bahwa Jepang memperalat tokoh nasional untuk kepentingan Jepang. Mereka menolak kemerdekaan yang akan diberikan Jepang sebagai hadiah bagi bangsa Indonesia. Mereka bertekad bahwa kemerdekaan harus dicapai dengan perjuangan bangsa Indonesia sendiri.
Beberapa tokoh yang bersikap seperti itu :
    1. Kelompok Sukarni bersama-sama dengan Adam Malik, Armunanto, Pandu Kartawiguna dan Maruta Nitiwihardjo
    2. Kelompok Syahrir dengan tokoh utamanya Sutan Syahrir sendiri.
    3. Kelompok pelajar, yaitu Chaerul Saleh, Johan Nur, Sayoko, Syarif Thayeb, Darwis dan Eri Sadewo
    4. Kelompok Kaigun, Yaitu Ahmad Subarjo, Sudiro, Wikana dan E. Khairuddin
Kelompok pemuda tersebut mendesak Soekarno agar saegera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, yang pada akhirnya setelah dinegosiasikan berujung pada kesediaan Soekarno dan Moh. Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.
  1. Dampak Pendudukan Jepang dalam Berbagai Aspek Kehidupan
  1. Bidang Politik
Sejak masuknya Jepang di Indonesia, organisasi yang berkembang pada saat itu dihapuskan dan diganti dengan organisasi buatan Jepang. Tetapi, pemerintah Jepang masih membiarkan kesempatan pada golongan nasionalis islam karena dinilainya sangat anti-barat, sehingga organisasi MIAI masih diperbolehkan tetap berdiri, tetapi karena perkembangannya dianggap membahayakan Jepang, akhirnya MIAI dibubarkan dan diganti dengan Masyumi.
Sikap Jepang jelas mempengaruhi gaya dan taktik para politisi nasional dan para pejuang Indonesia lainnya saat itu, dengan memanfaatkan organisasi buatan Jepang. Pada akhirnya berbagai bentuk organisasi bentukan Jepang dimasuki dan dipengaruhi oleh para pejuang nasional. Dengan demikian, lambat laun keterlibatan mereka semakin mendewasakan dan mematangkan perjuangan bangsa Indonesia.
  1. Bidang Pendidikan
Pendidikan zaman Jepang mengalami perubahan secara drastis. Dimana sistem pengajaran dan kurikulum disesuaikan dengan kepentingan perang. Siswa wajib mengikuti latihan dasar kemiliteran. Jepang juga menanamkan semangat Jepang dan siswa wajib menghapal lagu kebangsaan Jepang. Para guru diharuskan mengikuti kursus bahasa Jepang. Juga diwajibkannya menggunakan bahasa Jepang dan Indonesia sebagai bahasa pengantar disekolah untuk menggantikan bahasa Belanda. Melalui pendidikan, Jepang bermaksud mencetak kader-kader yang akan mempelopori dan merealisasikan konsepsi ”Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya”.
  1. Bidang Ekonomi
Pada pendudukan Jepang, kegiatan ekonomi diarahkan untuk kepentingan perang Jepang. Jepang berusaha menguasai sumber bahan mentah untuk industri Jepang. Yang pada prakteknya sangat memeras sumber daya alam dan sumber daya manusia. Jepang juga menyita perkebunan, pabrik, bank dan perusahaan vital lainnya.
Sebagian hasil panen harus diserahkan kepada pemerintah. Rakyat diperbolehkan memiliki 40% hasil panen mereka, 30%disetor kekoperasi dengan harga yang ditetapkan pemerintah dan sisa 30% disediakan untuk bibit dan harus disimpan dilumbung desa. Kadang-kadang semua itu dirampas oleh Jepang sehingga rakyat hanya makan keladi yang gatal, ubi jalar atau bekicot serta makanan lain yang tidak layak. Selain itu, Jepang juga mengharuskan kaum pria yang muda dan sehat serta produktif untuk menjadi serdadu pekerja (Romusha). Akibatnya tidak sedikit nyawa yang terenggut saat itu.
  1. Bidang Budaya
Jepang sebagai negara fasis selalu berusaha untuk dapat menanamkan kebudayaannya. Salah satu cara Jepang adalah kebiasaan menghormat kearah matahari terbit. Hal ini berarti bahwa cara menghormat tersebut merupakan salah satu tradisi Jepang untuk menghormati kaisarnya yang dianggap keturunan Dewa Matahari.
  1. Mobilitas Sosial
Pendudukan Jepang berpengaruh terhadap mobilitas sosial masyarakat, terutama perpindahan penduduk dan perubahan struktur sosial masyarakat diakibatkan kebutuhan Jepang dalam menghadapi perang melawan sekutu. Rakyat dijadikan sebagai Romusha sehingga berpengaruh pada perekonomian desa karena sawah dan ladang tidak terkelola dengan baik.
Pendudukan Jepang juga berpengaruh terhadap mobilitas sosial dalam arti sosial politik. Karena organisasi yang dibentuk Jepang dan bertujuan untuk kepentingan Jepang, sebaliknya dimanfaatkan oleh tokoh pergerakan nasional untuk kepentingan nasional, yaitu memperjuangkan Indonesia merdeka.
  1. Militer
Demi untuk memenuhi kepentingan perang Asia Timur Raya yang memerlukan banyak tentara. Pemerintah Jepang berusaha mengerahkan porensi rakyat Indonesia dengan membentuk pendidikan semi-militer dan militer, seperti : Seinendan, Keobodan, Heiho dan PETA. Meskipun pengerahan tersebut dilaksanakan untu kepentingan Jepang, namun bangsa Indonesia mendapat keuntungan besar dari proses pendidikan militer ini. Hal ini terasa gunanya, kelak pada saat bangsa Indonesia menghadapi sekutu dan Belanda yang akan menjajah kembali Indonesia tahun 1945 – 1949.
  1. Bahasa Indonesia
Jepang berusaha menghapus pengaruh barat di Indonesia. Antara lain dengan pelarangan penggunaan Bahasa Belanda disekolah-sekolah dan pertemuan resmi. Bahasa yang dboleh digunakan adalah bahasa Indonesia disamping bahasa Jepang. Demikian pula buku-buku pelajaran maupun yang berbentuk sastra, menggunakan bahasa Indonesia.
Bangsa Jepang berusaha untuk menguasai bahasa Indonesia agar dapat berkomunikasi dengan bangsa Indonesia. Sebaliknya, Bangsa Indonesia juga harus mempelajari bahasa Jepang. Dengan demikian, kedua bahasa mengalami perkembangan didarah pendudukan, khususnya Indonesia. Berkembanglah bahasa Indonesia akibat kebijakan pemerintahan pendudukan Jepang, baik dari segi tata bahasa maupun segi sastranya.
  1. Perjuangan Mmpersiapkan Kemerdekaan Indonesia
Sampai tahun 1944, kedudukan Jepang dalam perang Pasifik sudah sangat terdesak. Pada bulan Juli 1944 Pangkalan angkatan laut Jepang di Pulau Saipan yang sangat strategis jatuh ketangan Amerika Serikat. Sehingga menyebabkan terjadinya perubahan politik dinegara Jepang, yaitu perdana menteri Tojo diganti oleh Perdana Menteri Koiso.
Pada tanggal 7 September 1944, perdana Meteri Koiso mempermaklumkan janjinya didepan Parlemen Jepang mengenai rencana pemberian kemerdekaan kepada bangsa Indonesia dikemudian hari. Namun sebelum merealisasikan janjin tersebut, Perdana menteri Koiso akan membentuk sebuah badan penyelidik yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana usaha persiapan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Tindakan ini sebenarnya hanya untuk menark simpati rakyat Indonesia agar mendukung sepenuhnya pemerintahan pendudukan Jepang yang saat itu telah terdesak oleh sekutu.
  1. Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Junbi Cosakai)
Sesuai dengan janji Perdana Menteri Koiso, Letnan Jendral Kumakici Harada tanggal 1 Maret 1945 membentuk BPUPKI yang diketuai oleh Dr. Radjiman Wedyodiningrat.
BPUPKI bertugas menyelidiki dan mempelajari hal-hal penting mengenai maslah tata pemerintahan atau pembentukan negara Indonesia merdeka.
Tanggal 1 April 1945 diumumkan nama anggota BPUPKI yang terdiri dari 60 orang wakil dari berbagai komponen rakyat pribumi, ditambah 7 orang Jepang. Selain ketua, ada pula ketua muda yang terdiri dari 2 orang yaitu Ischibangase dan R.P. Suroso. Peresmian dan pelantikan pengurus BPUPKI dilaksanakan tanggal 28 Mei 1945.
Dalam merumuskan hal-hal penting mengenai Indonesia merdeka, BPUPKI mengadakan 2 kali sidang :
  1. Sidang pertama (29 mei – 1 Juni 1945)
Dalam sidang pertama ini, pembicaraan dipusatkan pada usaha merumuskan dasar filsafat bagi negara Indonesia merdeka dengan membahas berbagai usul dari peserta sidang.
Pada sidang tanggal 29 Mei 1945, M. Yamin mengemukakan gagasannya mengenai dasar negara kebangsaan Republik Indonesia :
  1. Peri Kebangsaan
  2. Peri Kemanusiaan
  3. Peri Ketuhanan
  4. Peri Kerakyatan
  5. Kesejahteraan Rakyat
Kemudian M. Yamin, menyampaikan gagasannya secara tertulis dengan rumusan sebagai berikut :
  1. Ketuhanan Yang Maha Esa
  2. Kebangsaan Persatuan Indonesia
  3. Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pada sidang tanggal 31 Mei 1945, Prof. Dr. Supomo menyampaikan hasil pemikirannya mengenai dasar negara Indonesia merdeka :
  1. Persatuan
  2. Kekeluargaan
  3. Keseimbangan lahir dan bathin
  4. Musyawarah
  5. Keadilan rakyat
Pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan buah pikirannya tentang dasar negara Indonesia merdeka :
  1. Kebangsaan Indonesia
  2. Internasionalisme
  3. Mufakat atau Demokrasi
  4. Kesejahteraan Sosial
  5. Ketuhanan Yang Maha Esa
Kelima asas yang diusulkan Ir. Soekarno sesuai dengan petunjuk seorang ahli bahasa diberi nama Pancasila. Oleh karena itu setiap tanggal 1 Juni dikenal sebagi hari lahirnya Pancasila.
Kemudian tanggal 22 Juni 1945, BPUPKI membentuk panitia perumus yang tugasnya untuk membahas dan merumuskan hasil sidang pertama. Panitia perumus tersebut dikenal dengan nama panitia kecil atau panitia 9, karena beranggotakan 9 orang :
  1. Ir. Soekarno (Ketua)
  2. Drs. M. Hatta (Wakil)
  3. K.H. Wachid Hasyim (Anggota)
  4. Kahar Muzakir (Anggota)
  5. Mr. A.A. Maramis (Anggota)
  6. Abikusno Tjokrosurojo (Anggota)
  7. H. Agus Salim (Anggota)
  8. Mr. Achmad Subarjo (Anggota)
  9. Mr. Moh. Yamin (Anggota).
Sebagai tindak lanjut dari sidang pertama maka direkomendasikan Piagam Jakarta (Jakarta Charter) tanggal 22 Juni 1945 yang berisi rumusan dasar negara dan rancangan Pembukaan UUD.
Adapun rumusan dasar negara berdasarkan piagam Jakarta adalah :
  1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat-syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya
  2. Kemanusian yang adil dan beradab
  3. Persatuan Indonesia
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
  1. Sidang Kedua ( 10 Juli – 16 Juli 1945 )
Pada sidang yang kedua BPUPKI berhasil membentuk tiga panitia :
  1. Panitia perancang UUD yang diketuai Ir. Soekarno
  2. Panitia Pembela Tanah Air yang diketuai Abi Kusno
  3. Panitia keuangan dan perekonomian yang diketuai Moh. Hatta
Panitia perancang dalam sidangnya tanggal 11 Juli 1945 menerima konsep naskah pembukaan UUD yang diambil dari piagam Jakarta. Panitia perancang kemudian membentuk panitia kecil perancang Undang-Undang Dasar yang diketuai Mr. Supomo. Ia bertugas menyempurnakan dan menyusun kembali rancangan UUD yang telah disepakati.
Tanggal 13 Juli 1945, pembentuk Tim Panitia Kecil yang diketuai Ir. Soekarno mengadakan sidang untuk membahas laporan hasil kerja Panitia Kecil Perancang UUD yang diketuai Mr. Supomo. Dalam rapat Pleno tanggal 14 Juli 1945, BPUPKI menerima laporan Panitia Perancang UUD yang dibacakan Ir. Soekarno :
  1. Pernyataan Indonesia merdeka
  2. Pembukaan UUD
  3. Batang Tubuh UUD
Setelah melalui sidang yang alot, hasil kerja Panitia Perancang UUD akhirnya diterima BPUPKI. Hal itu merupakan momentum penting dalam menentukan masa depan bangsa dan negara Indonesia. Rumusan yang telah disempurnakan dan diterima secara bulat oleh sidang tersebut kemudian dikenal dengan Undang-Undang Dasar 1945.
  1. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Junbi Inkai)
Pada tanggaL 7 Agustus 1945, BPUPKI dibubarkan oleh pemerintah Jepang karena dianggap terlalu cepat mewujudkan kehendak Indonesia merdeka dan menolak adanya keterlibatan dari pemerintah Jepang dalam persiapan kemerdekaan Indonesia. Sebagai pengganti BPUPKI, dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Junbi Inkai yang tugasnya adalah mempersiapkan segala sesuatu yang menyangkut maslah ketatanegaraan sehubungan dengan akan diserahkannya kekuasaan pemerintah dari Jepang kepada bangsa Indonesia.
Pada awlanya PPKI beranggotakan 21 orang: 12 dari Jawa, 3 dari Sumatra, 2 dari Sulawesi, 1 dari Kalimantan, 1 dari Nusa Tenggara, 1 dari Maluku dan 1 dari masyarakat Tionghoa. Sebagai ketua diangkat Ir. Soekarno dan M. Hatta sebagai wakilnya.
Kemudian tanpa sepengatahuan Jepang, anggota PPKI ditambah 6 orang lagi yaitu R.A.A. Wiranatakusumah, Ki Hadjar Dewantara, Mr. Kasman Singodimedjo, Sayuti Melik, Iwa Kusumasumantri dan Mr. Ahmad Subardjo.
PPKI merupakan badan pembentuk dan pendiri negara Republik Indonesia. Karena PPKI telah berhasil menyelesaikan tugasnya dalam mempersiapkan segala sesuatu sebagai syarat berdirinya negara yang merdeka dan berdaulat. Meliputi pembentukan susunan pemerintahan dan alat kelengkapan lainnya, seperti penentuan Presiden dan wakilnya, Parlemen (DPR) dan badan peradilan. Sedang mengenai komponen batas wilayah negara dan penduduk, hanya tinggal menunggu pengesahan. 

Sumber 

Ir Soekarno "Sang Proklamator"

Ir.Soekarno adalah Presiden pertama di Indonesia dan sekaligus juga Tokoh Proklamator bersama dengan Moch Hatta.
Ir.Soekarno lahir di Blitar, 6j uni 1901 dengan nama Kusno Sosrodihardjo.Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo sedangkan Ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai.
Ir.Soekarno juga menjadi ketua PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia)
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI, Soekarno-Hatta mendirikan Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. hingga terjadilah Peristiwa Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945; Soekarno dan Mohammad Hatta dibujuk oleh para pemuda untuk menyingkir ke asrama pasukan Pembela Tanah Air Peta Rengasdengklok. Tokoh pemuda yang membujuk antara lain Soekarni, Wikana, Singgih serta Chairul Saleh. Para pemuda menuntut agar Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Soekarno menetapkan moment tepat untuk kemerdekaan Republik Indonesia yakni dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945 saat itu bertepatan dengan tanggal 17 Ramadhan, bulan suci kaum muslim yang diyakini merupakan tanggal turunnya wahyu pertama kaum muslimin kepada Nabi Muhammad SAW yakni Al Qur-an. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan menjadi presiden dan wakil presiden dikukuhkan oleh KNIP.
Presiden Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia Internasional. Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih belum merdeka, belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan presiden Soekarno, pada tahun 1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang menghasilkan Dasa Sila. Bandung dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Ketimpangan dan konflik akibat “bom waktu” yang ditinggalkan negara-negara barat yang dicap masih mementingkan imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan dan kekhawatiran akan munculnya perang nuklir yang merubah peradaban, ketidakadilan badan-badan dunia internasional dalam pemecahan konflik juga menjadi perhatiannya. Bersama Presiden Josip Broz Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali Jinnah (Pakistan), U Nu, (Birma) dan Jawaharlal Nehru (India) ia mengadakan Konferensi Asia Afrika yang membuahkan Gerakan Non Blok. Berkat jasanya itu, banyak negara-negara Asia Afrika yang memperoleh kemerdekaannya. Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik berkepanjangan sampai saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah, yang masih dikuasai negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula, banyak penduduk dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno bila ingat atau mengenal akan Indonesia.
Sumber 

Kapiten Pattimura

Pattimura, memiliki nama asli Thomas Matulessy (lahir di Hualoy, Hualoy, Seram Selatan, Maluku, 8 Juni 1783 – meninggal di Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 pada umur 34 tahun).Ia adalah putra Frans Matulesi dengan Fransina Silahoi. Adapun dalam buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit, M Sapija menulis, "Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan".

Dari sejarah tentang Pattimura yang ditulis M Sapija, gelar kapitan adalah pemberian Belanda. Padahal tidak. Menurut Sejarawan Mansyur Suryanegara, leluhur bangsa ini, dari sudut sejarah dan antropologi, adalah homo religiosa (makhluk agamis). Keyakinan mereka terhadap sesuatu kekuatan di luar jangkauan akal pikiran mereka, menimbulkan tafsiran yang sulit dicerna rasio modern. Oleh sebab itu, tingkah laku sosialnya dikendalikan kekuatan-kekuatan alam yang mereka takuti.

Jiwa mereka bersatu dengan kekuatan-kekuatan alam, kesaktian-kesaktian khusus yang dimiliki seseorang. Kesaktian itu kemudian diterima sebagai sesuatu peristiwa yang mulia dan suci. Bila ia melekat pada seseorang, maka orang itu adalah lambang dari kekuatan mereka. Dia adalah pemimpin yang dianggap memiliki kharisma. Sifat-sifat itu melekat dan berproses turun-temurun. Walaupun kemudian mereka sudah memeluk agama, namun secara genealogis/silsilah/keturunan adalah turunan pemimpin atau kapitan. Dari sinilah sebenarnya sebutan "kapitan" yang melekat pada diri Pattimura itu bermula.

Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC ia pernah berkarier dalam militer sebagai mantan sersan Militer Inggris. Kata "Maluku" berasal dari bahasa Arab Al Mulk atau Al Malik yang berarti Tanah Raja-Raja. mengingat pada masa itu banyaknya kerajaan

Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda dan kemudian Belanda menetrapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente), pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongi Tochten), serta mengabaikan Traktat London I antara lain dalam pasal 11 memuat ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus merundingkan dahulu pemindahan koprs Ambon dengan Gubenur dan dalam perjanjian tersebut juga dicantumkan dengan jelas bahwa jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku maka para serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan dalam artian berhak untuk memilih untuk memasuki dinas militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer, akan tetapi dalam pratiknya pemindahn dinas militer ini dipaksakan Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat.

Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura Maka pada waktu pecah perang melawan penjajah Belanda tahun 1817, Raja-raja Patih, Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi). Sebagai panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi perang bersama pembantunya.

Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir Raja-raja Patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui luas oleh para Raja Patih maupun rakyat biasa. Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Patimura.

Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di
darat dan di laut dikoordinir Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para penglimanya antara lain Melchior Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha. Pertempuran yang menghancurkan pasukan Belanda tercatat seperti perebutan benteng Belanda Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jasirah Hitu di Pulau Ambon dan Seram Selatan. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belanda. Para tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon. Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai “PAHLAWAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN” oleh pemerintah Republik Indonesia...... Pahlawan Nasional Indonesia. Ketuhanan yang maha esa Kemanusiaan yang adil dan beradab Persatuan Indonesia Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan kemerdekaan bagi seluruh rakyat indonesia.

Patung Pattimura

Meluruskan sejarah Kapitan Ahmad `Pattimura’ Lussy

Tokoh Muslim ini sebenarnya bernama Ahmad Lussy, tetapi dia lebih dikenal dengan Thomas Mattulessy yang identik Kristen. Inilah Salah satu contoh deislamisasi dan penghianatan kaum minor atas sejarah pejuang Muslim di Maluku dan/atau Indonesia umumnya.

(Saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah beringin besar dan
setiap beringin besar akan tumbang tapi beringin lain akan menggantinya
(demikian pula) saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah batu
besar dan setiap batu besar akan terguling tapi batu lain akan
menggantinya).

Ucapan-ucapan puitis yang penuh tamsil itu diucapkan oleh Kapitan Ahmad Lussy atau dikenal dengan sebutan Pattimura, pahlawan dari Maluku. Saat itu, 16 Desember 1817, tali hukuman gantung telah terlilit di lehernya. Dari ucapan-ucapannya, tampak bahwa Ahmad Lussy seorang patriot yang berjiwa besar. Dia tidak takut ancaman maut. Wataknya teguh, memiliki kepribadian dan harga diri di hadapan musuh. Ahmad Lussy juga tampak optimis. Namun keberanian dan patriotisme Pattimura itu terdistorsi oleh penulisan sejarah versi pemerintah. M Sapija, sejarawan yang pertama kali menulis buku tentang Pattimura, mengartikan ucapan di ujung maut itu dengan

“Pattimura-Pattimura tua boleh dihancurkan, tetapi kelak Pattimura-Pattimura
muda akan bangkit”

Namun menurut M Nour Tawainella, juga seorang sejarawan, penafsiran Sapija itu tidak pas karena warna tata bahasa Indonesianya terlalu modern dan berbeda dengan konteks budaya zaman itu. Di bagian lain, Sapija menafsirkan,

“Selamat tinggal saudara-saudara”, atau “Selamat tinggal tuang-tuang”

Inipun disanggah Tawainella. Sebab, ucapan seperti itu bukanlah tipikal Pattimura yang patriotik dan optimis. Puncak kontroversi tentang siapa Pattimura adalah penyebutan Ahmad Lussy dengan nama Thomas Mattulessy, dari nama seorang Muslim menjadi seorang Kristen. Hebatnya, masyarakat lebih percaya kepada predikat Kristen itu, karena Maluku sering diidentikkan dengan Kristen. inilah yang menjadi perdebatan sejarah hingga sekarang ini.

Sumber 

Peristiwa 10 November

Masuknya Tentara Inggris & Belanda

Rakyat dan para pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada 25 Oktober. Tentara Inggris didatangkan ke Indonesia atas keputusan dan atas nama Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Tetapi, selain itu, tentara Inggris juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada pemerintah Belanda sebagai jajahannya. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris. Itulah yang meledakkan kemarahan rakyat Indonesia di mana-mana.
Insiden di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya

Setelah munculnya maklumat pemerintah tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Merah Putih dikibarkan terus di seluruh Indonesia, gerakan pengibaran bendera makin meluas ke segenap pelosok kota.

Di berbagai tempat strategis dan tempat-tempat lainnya, susul menyusul bendera dikibarkan. Antara lain di teras atas Gedung Kantor Karesidenan (kantor Syucokan, gedung Gubernuran sekarang, Jl Pahlawan) yang terletak di muka gedung Kempeitai (sekarang Tugu Pahlawan), di atas gedung Internatio, disusul barisan pemuda dari segala penjuru Surabaya yang membawa bendera merah putih datang ke Tambaksari (lapangan Gelora 10 November) untuk menghadiri rapat raksasa yang diselenggarakan oleh Barisan Pemuda Surabaya.

Saat itu lapangan Tambaksari penuh lambaian bendera merah putih, disertai pekik ‘Merdeka’ mendengung di angkasa. Walaupun pihak Kempeitai melarang diadakannya rapat tersebut, namun mereka tidak berdaya menghadapi massa rakyat yang semangatnya tengah menggelora itu. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru/Hotel Yamato atau Oranje Hotel, Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.

Mula-mula Jepang dan Indo-Belanda yang sudah keluar dari interniran menyusun suatu organisasi, Komite Kontak Sosial, yang mendapat bantuan penuh dari Jepang. Terbentuknya komite ini disponsori oleh Palang Merah Internasional (Intercross). Namun, berlindung dibalik Intercross mereka melakukan kegiatan politik. Mereka mencoba mengambil alih gudang-gudang dan beberapa tempat telah mereka duduki, seperti Hotel Yamato. Pada 18 September 1945, datanglah di Surabaya (Gunungsari) opsir-opsir Sekutu dan Belanda dari Allied Command (utusan Sekutu) bersama-sama dengan rombongan Intercross dari Jakarta.

Rombongan Sekutu oleh Jepang ditempatkan di Hotel Yamato, Jl Tunjungan 65, sedangkan rombongan Intercross di Gedung Setan, Jl Tunjungan 80 Surabaya, tanpa seijin Pemerintah Karesidenan Surabaya. Dan sejak itu Hotel Yamato dijadikan markas RAPWI (Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees, Bantuan Rehabilitasi untuk Tawanan Perang dan Interniran).

Karena kedudukannya merasa kuat, sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch Ploegman pada sore hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan hari ketika pemuda Surabaya melihatnya, seketika meledak amarahnya. Mereka menganggap Belanda mau menancapkan kekuasannya kembali di negeri Indonesia, dan dianggap melecehkan gerakan pengibaran bendera yang sedang berlangsung di Surabaya.

Begitu kabar tersebut tersebar di seluruh kota Surabaya, sebentar saja Jl. Tunjungan dibanjiri oleh rakyat, mulai dari pelajar berumur belasan tahun hingga pemuda dewasa, semua siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Massa terus mengalir hingga memadati halaman hotel serta halaman gedung yang berdampingan penuh massa dengan luapan amarah. Agak ke belakang halaman hotel, beberapa tentara Jepang tampak berjaga-jaga. Situasi saat itu menjadi sangat eksplosif.

Tak lama kemudian Residen Sudirman datang. Kedatangan pejuang dan diplomat ulung yang waktu itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, menyibak kerumunan massa lalu masuk ke hotel. Ia ingin berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawan. Dalam perundingan itu Sudirman meminta agar bendera Triwarna segera diturunkan.

Ploegman menolak, bahkan dengan kasar mengancam, “Tentara Sekutu telah menang perang, dan karena Belanda adalah anggota Sekutu, maka sekarang Pemerintah Belanda berhak menegakkan kembali pemerintahan Hindia Belanda. Republik Indonesia? Itu tidak kami akui.” Sambil mengangkat revolver, Ploegman memaksa Sudirman untuk segera pergi dan membiarkan bendera Belanda tetap berkibar.

Melihat gelagat tidak menguntungkan itu, pemuda Sidik dan Hariyono yang mendampingi Sudirman mengambil langkah taktis. Sidik menendang revolver dari tangan Ploegman. Revolver itu terpental dan meletus tanpa mengenai siapapun. Hariyono segera membawa Sudirman ke luar, sementara Sidik terus bergulat dengan Ploegman dan mencekiknya hingga tewas. Beberapa tentara Belanda menyerobot masuk karena mendengar letusan pistol, dan sambil menghunus pedang panjang lalu disabetkan ke arah Sidik. Sidik pun tersungkur.

Di luar hotel, para pemuda yang mengetahui kejadian itu langsung merangsek masuk ke hotel dan terjadilah perkelahian di ruang muka hotel. Sebagian yang lain, berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Sudirman turut terlibat dalam pemanjatan tiang bendera. Akhirnya ia bersama Kusno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang kembali. Massa rakyat menyambut keberhasilan pengibaran bendera merah putih itu dengan pekik “Merdeka” berulang kali, sebagai tanda kemenangan, kehormatan dan kedaulatan negara RI.

Kemudian meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris pada 27 Oktober 1945. Serangan-serangan kecil itu ternyata dikemudian hari berubah menjadi serangan umum yang hampir membinasakan seluruh tentara Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.


Kematian Brigadir Jenderal Mallaby



Setelah diadakannya gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Tetapi walau begitu tetap saja terjadi keributan antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata dengan tentara Inggris di Surabaya, memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945. Mobil Buick yang sedang ditumpangi Brigjen Mallaby dicegat oleh sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Karena terjadi salah paham, maka terjadilah tembak menembak yang akhirnya membuat mobil jenderal Inggris itu meledak terkena tembakan. Mobil itu pun hangus.

Ultimatum 10 November 1945

Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya (Mayor Jenderal Mansergh) mengeluarkan ultimatum yang merupakan penghinaan bagi para pejuang dan rakyat umumnya. Dalam ultimatum itu disebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.

Ultimatum tersebut ditolak oleh Indonesia. Sebab, Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri (walaupun baru saja diproklamasikan), dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sebagai alat negara juga telah dibentuk.
Selain itu, banyak sekali organisasi perjuangan yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar. Badan-badan perjuangan itu telah muncul sebagai manifestasi tekad bersama untuk membela republik yang masih muda, untuk melucuti pasukan Jepang, dan untuk menentang masuknya kembali kolonialisme Belanda (yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia).

Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan besar-besaran dan dahsyat sekali, dengan mengerahkan sekitar 30.000 serdadu, 50 pesawat terbang, dan sejumlah besar kapal perang.

Berbagai bagian kota Surabaya dihujani bom, ditembaki secara membabi-buta dengan meriam dari laut dan darat. Ribuan penduduk menjadi korban, banyak yang meninggal dan lebih banyak lagi yang luka-luka. Tetapi, perlawanan pejuang-pejuang juga berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk.

Pihak Inggris menduga bahwa perlawanan rakyat Indonesia di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo 3 hari saja, dengan mengerahkan persenjataan modern yang lengkap, termasuk pesawat terbang, kapal perang, tank, dan kendaraan lapis baja yang cukup banyak.

Namun di luar dugaan, ternyata para tokoh-tokoh masyarakat yang terdiri dari kalangan ulama’ serta kyai-kyai pondok Jawa seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat umum (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai) juga ada pelopor muda seperti Bung Tomo dan lainnya. Sehingga perlawanan itu bisa bertahan lama, berlangsung dari hari ke hari, dan dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran besar-besaran ini memakan waktu sampai sebulan, sebelum seluruh kota jatuh di tangan pihak Inggris.
Peristiwa berdarah di Surabaya ketika itu juga telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat yang menjadi korban ketika itulah yang kemudian dikenang sebagaHari Pahlawan. 


Sumber