Dari
sejarah tentang Pattimura yang ditulis M Sapija, gelar kapitan adalah
pemberian Belanda. Padahal tidak. Menurut Sejarawan Mansyur Suryanegara,
leluhur bangsa ini, dari sudut sejarah dan antropologi, adalah homo
religiosa (makhluk agamis). Keyakinan mereka terhadap sesuatu kekuatan
di luar jangkauan akal pikiran mereka, menimbulkan tafsiran yang sulit
dicerna rasio modern. Oleh sebab itu, tingkah laku sosialnya
dikendalikan kekuatan-kekuatan alam yang mereka takuti.
Jiwa
mereka bersatu dengan kekuatan-kekuatan alam, kesaktian-kesaktian
khusus yang dimiliki seseorang. Kesaktian itu kemudian diterima sebagai
sesuatu peristiwa yang mulia dan suci. Bila ia melekat pada seseorang,
maka orang itu adalah lambang dari kekuatan mereka. Dia adalah pemimpin
yang dianggap memiliki kharisma. Sifat-sifat itu melekat dan berproses
turun-temurun. Walaupun kemudian mereka sudah memeluk agama, namun
secara genealogis/silsilah/keturunan adalah turunan pemimpin atau
kapitan. Dari sinilah sebenarnya sebutan "kapitan" yang melekat pada
diri Pattimura itu bermula.
Sebelum
melakukan perlawanan terhadap VOC ia pernah berkarier dalam militer
sebagai mantan sersan Militer Inggris. Kata "Maluku" berasal dari bahasa
Arab Al Mulk atau Al Malik yang berarti Tanah Raja-Raja. mengingat pada
masa itu banyaknya kerajaan
Pada
tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda
dan kemudian Belanda menetrapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas
tanah (landrente), pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongi
Tochten), serta mengabaikan Traktat London I antara lain dalam pasal 11
memuat ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus merundingkan
dahulu pemindahan koprs Ambon dengan Gubenur dan dalam perjanjian
tersebut juga dicantumkan dengan jelas bahwa jika pemerintahan Inggris
berakhir di Maluku maka para serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan
dalam artian berhak untuk memilih untuk memasuki dinas militer
pemerintah baru atau keluar dari dinas militer, akan tetapi dalam
pratiknya pemindahn dinas militer ini dipaksakan Kedatangan kembali
kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat.
Hal
ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan
kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya
bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura Maka pada
waktu pecah perang melawan penjajah Belanda tahun 1817, Raja-raja
Patih, Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai
pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman dan memiliki
sifat-sfat kesatria (kabaressi). Sebagai panglima perang, Kapitan
Pattimura mengatur strategi perang bersama pembantunya.
Sebagai
pemimpin dia berhasil mengkoordinir Raja-raja Patih dalam melaksanakan
kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan
pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam
kepemimpinan diakui luas oleh para Raja Patih maupun rakyat biasa. Dalam
perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan
kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa.
Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan
kekuatan militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri
Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi
Patimura.
Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di
darat
dan di laut dikoordinir Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para
penglimanya antara lain Melchior Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip
Latumahina dan Ulupaha. Pertempuran yang menghancurkan pasukan Belanda
tercatat seperti perebutan benteng Belanda Duurstede, pertempuran di
pantai Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jasirah Hitu di Pulau
Ambon dan Seram Selatan. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan
politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belanda. Para
tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di
tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon. Untuk jasa
dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai “PAHLAWAN
PERJUANGAN KEMERDEKAAN” oleh pemerintah Republik Indonesia......
Pahlawan Nasional Indonesia. Ketuhanan yang maha esa Kemanusiaan yang
adil dan beradab Persatuan Indonesia Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan kemerdekaan bagi
seluruh rakyat indonesia.
Patung Pattimura
Meluruskan sejarah Kapitan Ahmad `Pattimura’ Lussy
Tokoh
Muslim ini sebenarnya bernama Ahmad Lussy, tetapi dia lebih dikenal
dengan Thomas Mattulessy yang identik Kristen. Inilah Salah satu contoh
deislamisasi dan penghianatan kaum minor atas sejarah pejuang Muslim di
Maluku dan/atau Indonesia umumnya.
(Saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah beringin besar dan
setiap beringin besar akan tumbang tapi beringin lain akan menggantinya
(demikian pula) saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah batu
besar dan setiap batu besar akan terguling tapi batu lain akan
menggantinya).
Ucapan-ucapan
puitis yang penuh tamsil itu diucapkan oleh Kapitan Ahmad Lussy atau
dikenal dengan sebutan Pattimura, pahlawan dari Maluku. Saat itu, 16
Desember 1817, tali hukuman gantung telah terlilit di lehernya. Dari
ucapan-ucapannya, tampak bahwa Ahmad Lussy seorang patriot yang berjiwa
besar. Dia tidak takut ancaman maut. Wataknya teguh, memiliki
kepribadian dan harga diri di hadapan musuh. Ahmad Lussy juga tampak
optimis. Namun keberanian dan patriotisme Pattimura itu terdistorsi oleh
penulisan sejarah versi pemerintah. M Sapija, sejarawan yang pertama
kali menulis buku tentang Pattimura, mengartikan ucapan di ujung maut
itu dengan
“Pattimura-Pattimura tua boleh dihancurkan, tetapi kelak Pattimura-Pattimura
muda akan bangkit”
Namun
menurut M Nour Tawainella, juga seorang sejarawan, penafsiran Sapija
itu tidak pas karena warna tata bahasa Indonesianya terlalu modern dan
berbeda dengan konteks budaya zaman itu. Di bagian lain, Sapija
menafsirkan,
“Selamat tinggal saudara-saudara”, atau “Selamat tinggal tuang-tuang”
Inipun
disanggah Tawainella. Sebab, ucapan seperti itu bukanlah tipikal
Pattimura yang patriotik dan optimis. Puncak kontroversi tentang siapa
Pattimura adalah penyebutan Ahmad Lussy dengan nama Thomas Mattulessy,
dari nama seorang Muslim menjadi seorang Kristen. Hebatnya, masyarakat
lebih percaya kepada predikat Kristen itu, karena Maluku sering
diidentikkan dengan Kristen. inilah yang menjadi perdebatan sejarah
hingga sekarang ini.
Sumber
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar